
Kalau menghitung ONH (Ongkos Naik Haji) yang semakin hari semakin mahal, apalagi terdengar ada kabar datang dari Menteri Agama bahwa tarif perjalanan haji reguler akan naik dua kali lipat, tanah suci semakin terasa jauh bagi orang-orang miskin, sekalipun berbagai lembaga perbankan menawarkan skema pembayaran kredit, kendala lain seperti antrian pemberangkatan juga menjadi persoalan tersendiri.
Sejak lama, menunaikan ibadah haji telah menjadi impian banyak orang Islam, sebab haji dianggap sebagai ibadah yang sangat sakral dan menjadi puncak dari pengalaman keberagaman seseorang. Tak sedikit orang yang rela menabung bertahun-tahun, menyisihkan hasil usaha, bahkan sampai menjual tanah mereka untuk mengunjungi tanah haram di Arab sana.
Mengingat sulitnya menjalani ibadah tersebut, tak banyak orang yang mampu menunaikan ibadah haji, dalam ajaran Islam sendiri haji diberikan catatan khusus yaitu ditunaikan bagi orang-orang yang mampu. Kata mampu merujuk pada kesiapan seseorang secara materi maupun fisik. Juga ketersediaan kuota haji tentunya, hasil lobi-lobi pemerintah pusat dengan Arab Saudi, dan hasil penjatahan pemerintah daerah oleh pemerintah pusat.
Seseorang yang berangkat haji apalagi jalur reguler telah menguji kesabaran mereka belasan hingga puluhan tahun mengantre, Jalur cepat dengan ONH (ongkos naik haji) plus menguras kantong hingga ratusan juta.
Haji Pelancong
Lombok sebagai salah satu pemasok tenaga kerja ke Timur Tengah telah berlangsung lama, baik tenaga kerja laki-laki maupun tenaga kerja perempuan. Mereka bekerja dengan rata-rata kontrak kerja minimal dua tahun, bekerja di sektor yang beragam, mulai dari asisten rumah tangga, hingga di toko dan retail. Rata-rata mereka memperoleh pendapatan yang cukup menjanjikan.
Gelombang tenaga kerja tersebut kemudian mendatangkan satu bentuk baru dari tradisi haji di Lombok. Orang-orang menyebut mereka haji TKI beberapa menyebutnya haji pelancong, kendati segala bentuk prosesi haji tersebut tak berbeda sedikitpun dengan haji umumnya, namun ada semacam pengelompokan termasuk dalam menyandang status dan gelar haji. Sebab, motif awal mereka adalah mencari nafkah, namun berhaji kemudian menjadi salah satu pilihan.
Rata-rata mereka yang berangkat haji dari tempat kerja mereka di tanah Arab, merupakan hadiah atau semacam pilihan menjalani cuti kerja. Namun di luar itu, secara ekonomi mereka tergolong menengah ke bawah. Sebab jika dilihat dari motif merantau sebagai TKI tentu ada tuntutan kebutuhan entah itu berupa modal usaha atau hunian sedang direncanakan untuk di bangun.
Prosesi haji di Lombok, biasanya disambut dan dirayakan dengan berbagai rangkaian seperti selamatan, serakalan, pengantaran dan lain sebagainya yang tentu memiliki pengaruh sendiri bagi gelar haji yang dimilikinya. Prosesi tersebut turut memberikan kesan eksklusif bagi orang yang menjalankan ibadah haji. Berbeda dengan haji TKI, tak ada rangkaian acara, tak ada pula perayaan bagi mereka datang ke tanah suci.
Memang, secara kasat mata tak ada perbedaan, namun selalu ada identifikasi di tengah masyarakat soal status haji yang dijalankan dengan menyebut proses hajinya sebagai haji TKI. Sekalipun begitu gelar haji tetap disematkan sebelum nama depan mereka, panggilan “tuan aji” juga tetap digunakan, pakaian seperti kopiah putih dan surban juga mereka kenakan.
Mengingat Haji dalam sejarah masyarakat Lombok, tidak hanya memuat pesan keagamaan tetapi juga sebagai simbol sosial yang sejak abad 18 telah menjadi “kelas” baru di tengah lingkungan sosial, hal tersebut adalah buah dari pengaruh tokoh agama dan tertanamnya nilai-nilai keislaman di pulau seribu masjid. Hal tersebut memberi kesan bahwa Haji adalah puncak spiritual yang dipersiapkan dengan matang dan disambut meriah.
Ibadah Haji dan Tradisi Masyarakat
Haji yang bermakna sakral tersebut mampu menyerap berbagai ekspresi yang menopang status haji, status yang juga sejak lama dimiliki oleh orang-orang yang mampu secara materi dan terpilih.
Sejak persiapan keberangkatan hingga penjemputan, terdapat prosesi yang mengiringi tiap tahap ibadah tersebut. Mulai dari gawe haji (Kenduri), menghias rumah, pengantaran, serakalan (sholawat dan do’a) selama jamaah haji berada di tanah suci, hingga penjemputan.
Haji telah mengalami pengayaan dalam rangkaian perjalanannya. Secara turun temurun berbagai prosesi dan kebiasaan turut mengiringi proses berhaji, menjadi bagian yang melekat dalam praktik ibadah haji di Lombok. Hal inilah sebenarnya yang memberikan kesan berbeda.
Terlepas dari cara dan jalur berangkatnya, tetap saja Haji adalah ibadah yang dilaksanakan oleh mereka yang dikehendaki oleh Allah SWT. Orang-orang meyakini bahwa haji itu merupakan panggilan dari Allah SWT, dalam kalimat talbiyah yang dibaca oleh jamaah haji kesyukuran itu diungkapkan dalam lafaz:
لَبَيْكَ اللَّهُمَّ لَبَيْكَ. لَبَيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَيْكَ. إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ
Artinya: “Aku datang memenuhi panggilanMu, ya Allah. Aku datang memenuhi panggilanMu. Aku datang memenuhi panggilanMu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi panggilanMu. Sesungguhnya segala puji nikmat dan segenap kekuasaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Selain itu dalam surat Al Hajj Allah SWT menegaskan tentang ketentuan bagi orang yang ditakdirkan berhaji “Dan berserulah kepada manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.”
Penulis: Muh. Azhari Wathani
(Jamaah Wirid Simsalabim, Tinggal di Lombok Timur)