
Apa Jadinya dunia penerbangan jika semua orang merasa tahu menerbangkan pesawat dari pada pilot? Apa jadinya dunia kesehatan jika semua orang merasa tahu menangani seorang pasien yang sedang mengalami patah tulang? Dan apa jadinya dunia hukum jika semua orang merasa tahu tentang perundang-undangan dari pada hakim dan pengacara?
Itulah sekelumit tanya yang mewakili sebagian kecil keresahan banyak orang tentang Internet yang dipenuhi pendapat dan argumentasi yang subjektif, relatif, dan bahkan tak berdasar. Nahasnya, hal tersebut memiliki tempat tersendiri bagi mereka yang senantiasa berselancar di Internet dengan buta.
Tak sampai di situ, ia juga membuat orang-orang meragukan pendapat pakar hingga menggerus kepercayaan publik terhadap pakar di bidang tertentu. Untuk itulah Tom Nichols menulis buku ini.
“Matinya Kepakaran” adalah judul buku ini. Terbit pada 2018 oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Tom Nichols sendiri adalah seorang Profesor di U.S Naval War Collage dan Harvard Extension School. Dalam buku ini, ia mengemukakan kegelisahannya atas perlawanan terhadap pengetahuan yang telah mapan.
Semua itu tertuang ke dalam 289 halaman dan terdiri dari enam bab, masing-masingnya sebagai berikut; pakar dan warga negara, percakapan yang kian melelahkan, sebagai pelanggan mahasiswa selalu benar, tersesat di mesin pencari, jurnalisme gaya baru, dan ketika pakar salah.
Awalnya saya menduga bahwa matinya kepakaran banyak disebabkan oleh berkelindaannya informasi di Internet yang gampang untuk diakses masyarakat umum, dikonsumsi mentah-mentah, nyaris tanpa filter rasionalitas yang ilmiah dan disebarluaskan begitu saja.
Namun apakah cukup menuduh Internet sebagai biang kerok matinya kepakaran? Tentu belumlah cukup. Menariknya, Tom Nichols mencoba mendudukkan pokok-pokok utama penyebab matinya kepakaran.
Pertentangan Pakar dan Awam
Buku ini banyak membicarakan tentang kondisi terkini Amerika Serikat. Salah satunya, yakni pertentangan antara seorang perempuan dewasa dengan dokter perihal susu mentah.
Menurut dokter, susu mentah 150 kali berpotensi membahayakan kondisi kesehatan. Hal itu didasarkan pada hasil penelitian dokter tersebut. Singkatnya, mengonsumsi susu mentah sama bahayanya seperti kita menunggu angka enam keluar dari sebuah dadu yang sedang acak di sebuah kotak.
Setelah disarankan untuk tidak mengonsumsinya, perempuan dewasa tersebut tetap saja menghidangkan susu mentah sebagai sajian santapan keluarga besarnya. Hal itu ia lakukan dengan dalih bahwa dokter pernah salah saat meneliti kandungan telur dan daging merah.
Saat itu, dokter dengan percaya diri mengumumkan kepada khalayak umum bahwa keduanya berbahaya bagi kesehatan.
Tak sampai di situ, Pada 1990-an, sekelompok kecil “penyangkal AIDS” menentang konsensus dunia medis bahwa virus HIV yang menyebabkan AIDS. Namun faktanya, setelah para peneliti menemukan HIV, dokter dan pejabat kesehatan publik mampu menyelamatkan banyak nyawa melalui tindakan pencegahan.
Masalahnya mungkin selesai begitu saja. Tapi gagasan ngawur itu ternyata menarik perhatian presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki. Ia menolak bantuan obat-obatan dan berbagai bentuk bantuan lain untuk memberantas penyebaran virus HIV di negerinya. Akibatnya, sekitar 300 ribu orang meninggal dan sekitar 35 ribu lebih anak lahir dengan HIV positif yang infeksinya seharusnya bisa dihindari.
Kisah di atas adalah sekian dari banyak kisah yang memperlihatkan pertentangan antara pakar dan awam di Amerika Serikat. Pertentangan itu tampaknya relevan dengan adagium “seribu kebaikan akan runtuh dengan beberapa kesalahan saja”.
Manusia memang demikian, pada dirinya terdapat potensi yang dapat mengantarkannya kepuncak pencapaian, juga memiliki potensi untuk merobohkan kemanusiaannya sama sekali.
Manusia dan Internet
Salah satu hal sebagai pendorong matinya kepakaran adalah sisi buruk manusia. Pada sisi ini, tak hanya kepakaran yang akan ia matikan, sesama manusia juga bisa ia matikan, hingga puncaknya merobohkan kemanusiaannya sendiri.
Sebagaimana ditengarai Tom Nichols di buku ini dan (mungkin) kita saksikan sehari-hari, masih banyak orang yang bersikap antivaksin hingga yang percaya bumi itu datar.
Sisi buruk manusia yang coba ia dudukkan relevan dengan era Internet dewasa ini, yakni kemalasan dan ketidakmampuan manusia menggunakan akal sehatnya dalam memahami dan mempelajari satu hal. Terlebih, internet kini memberikan kemudahan bagi penggunanya untuk mengunggah informasi, berita, dan pengetahuan yang belum tervalidasi. Misalnya, pendapat seseorang perihal suatu fenomena.
Kemudahan dalam mengunggah segala hal ke Internet berbanding lurus dengan kemudahan penggunanya dalam mengakses informasi dan berita yang telah diunggah sebelumnya. Oleh karena itulah era ini disebut sebagai era teknologi dan informasi.
Pada era ini, kita mungkin mengharapkan lompatan pengetahuan. Tapi alih-alih demikian, ia juga memberi jalan bahkan memperkuat kekurangan manusia.
Tom Nichols menganalogikan Internet dengan hukum Sturgeon dengan mengatakan bahwa 90 persen dari semua hal di Internet adalah sampah. Orang bebas mengunggah apa pun di Internet, akhirnya ruang publik dibanjiri informasi tak penting dan pikiran setengah matang.
Internet mengizinkan satu miliar bunga mekar, namun sebagian besarnya berbau busuk, mulai dari pikiran iseng (pribadi) para penulis blog, teori-teori konspirasi, dan hingga penyebaran informasi bohong oleh berbagai kelompok.
Tambahan pula, Internet bukan hanya membuat kita makin bodoh, tapi juga lebih kejam. Di dunia maya, sebagian dari kita tak ingin menguji informasi, berdiskusi dan berdebat sehat, tapi mengecilkan opini orang lain yang berbeda, menghina, dan menyerang.
Di titik inilah yang menjadi masalah, sebab kita sampai pada titik menghilangkan peran pakar. Informasi benar disangkal, akhirnya kebodohan mengabadi pada diri manusia.
Begitulah kehidupan banyak manusia di Amerika Serikat, Indonesia, dan mungkin hampir seluruh masyarakat di penjuru dunia.
Untuk menyempurnakan imajinasi pembaca menyoal relevansi Internet dengan manusia pada sisi buruknya, ungkapan Bre Redana, seorang jurnalis senior, cukup sesuai dengan persoalan manusia dewasa ini; “Sekarang, kalau di stadion ada 50 ribu penonton sepak bola, maka sebanyak 50 ribu itu pakar sepak bola. Semua bisa bikin opini dan menyebarluaskannya.”
Kepakaran dan Sistem Pendidikan Hari ini
Dalam buku ini, kepakaran dihubungkan dengan studi-studi formal yang berujung pada elitisme otoritas. Menurut Tom Nichols, ada empat hal yang berlaku sebagai syarat dan mesti dimiliki oleh seorang pakar, yakni pendidikan, bakat, pengalaman, dan pengakuan rekan sejawat.
Hemat saya, selain akan berujung pada elitisme otoritas, kriteria yang dibangun oleh Tom Nichols mengandung paradoks. Sebab, pada bab lain, ia mengkritisi otoritas pendidikan, tetapi pada saat yang sama juga memasukkan pendidikan sebagai salah satu syarat. Lantas pendidikan seperti apa yang dimaksudnya?
Awam dan pakar. Kedua hal itu ialah predikat terhadap manusia yang memenuhi kriteria untuk dilekatkan padanya. Sebagai manusia, ia berpotensi pintar sekaligus berpotensi bodoh. Semua itu sejalan dengan ungkapan bahwa manusia adalah makhluk dimensional.
Kemungkinan potensi itu bergantung pada aktualitas kesehariannya. Dengan begitu, setiap manusia berpotensi menjadi awam sekaligus berpotensi menjadi pakar.
Kalau kita membuka lembaran sejarah jauh ke belakang, kita akan banyak menemui intelektual ternama yang tidak melalui pendidikan formal; misalnya, Abraham Lincoln. Ia seorang Advokat tanpa pendidikan formal sebagaimana kurikulum yang mengharuskan kita mengikuti perkuliahan empat sampai tujuh tahun lamanya.
Henry Billings, seorang Hakim yang juga tak menempuh sistem pendidikan sebagaimana yang kita lihat hari ini. Dan yang paling dekat dengan kita, yakni Chaerul. Ia seorang awam di bidang teknik, tapi ia mampu merakit pesawat seorang diri.
Kembali kepertanyaan di atas, pendidikan seperti apa yang dimaksud oleh Tom Nichols?
Agar fair, sebaiknya kita membagi dua klasifikasi pendidikan, yakni masa lalu dan masa kini. Manusia sebagai subjek pendidikan, pada dirinya, memiliki kemandirian berpikir. Maka tak heran jika pada masa lalu kita menemui pemikir yang tak kalah dengan pemikir hari ini.
Sejalan dengan itu, menurut Malcom Gladwell seseorang dapat dikatakan expert di bidangnya haruslah menghabiskan 10.000 jam pada satu bidang tertentu dengan konsisten dan berkelanjutan.
Jika kita melihat realitas pendidikan kita hari ini, semestinya 4 atau 7 tahun di perguruan tinggi adalah tahun-tahun yang menakjubkan dalam fase terpenting kehidupan manusia.
Sebab, menurut Hartono Tasir Irwanto, jika kita harus melulusi 150 SKS untuk dapat lulus sebagai sarjana, dan 1 SKS-nya dihitung setara dengan 50 menit tatap muka per minggu yang terdiri dari 16 pertemuan per semesternya, maka dibutuhkan sekitar 14 jam untuk dapat melulusi satu mata kuliah yang 1 SKS, dan dibutuhkan 2000 jam untuk menjadi sarjana. Dan itu belum termasuk jam praktikum, mengerjakan tugas, kuliah kerja nyata, serta penelitian skripsi.
Begitulah pendidikan hari ini yang hanya mengestimasikan 2000 jam saja untuk menjadi seorang sarjanawan. Sebagaimana yang dikritik oleh Tom Nichols dalam buku ini, bahwa bisa jadi ini akibat dari kapitalisasi pendidikan.
Akhirnya mahasiswa-mahasiswi dipandang sebagai konsumen belaka, bahwa konsumen selalu benar. Akhirnya logika bisnis sedang asyik-asyiknya bercumbu dengan dunia pendidikan dewasa ini.
Kapitalisasi semacam itu tak hanya terjadi pada dunia pendidikan saja, melainkan juga terjadi di aspek jurnalisme. Kita tak bisa membayangkan bagaimana permintaan pasar yang minta untuk dihibur lebih terakomodasi dari pada hal yang bersifat informatif. Kini, yang paling dekat dengan kita, misalnya, Instagram, Facebook,dan beberapa media sosial yang serupa.
Banyak dampak buruk yang diakibatkan dari komersialisasi pendidikan. Selain akan melahirkan kecerdasan semu yang cenderung sok tahu, juga akan berakibat pada tergadainya lisensi, sertifikasi, dan ijazah yang diperoleh dengan cara yang tidak substantif.
Sebut saja proyek infrastruktur di jalur Pantai Utara Pulau Jawa yang setiap tahunnya diperbaiki karena mengalami kerusakan. Padahal di sana insinyur sebagai pakar terlibat penuh.
Tak hanya itu, lembaga survei, misalnya, setiap kali momentum demokrasi-politik, kita dipaparkan data-data yang seolah setiap kandidat adalah pemenang. Sekali lagi, ini akibat komersialisasi pendidikan yang mengantarkan manusia pada kesadaran semu.
Menyoal pendidikan, manusia sebagai pihak yang terlibat mesti menjadikan setiap tempat sebagai sekolah dan menjadikan setiap orang sebagai guru dan setiap buku sebagai ilmu, guna mencukupkan 10.000 waktu tersebut agar mahasiswa benar-benar menjadi pakar, tak semu, tak lagi terlibat dalam plagiat serta tak terlibat menyebarluaskan hoaks.
Dengan demikian, dapat dikatakan, pengalaman yang hanya berdasar bakat adalah hobi; pengalaman berdasar pada pengetahuan tertentu adalah pakar.
Sebaliknya, pengetahuan tertentu tanpa pengalaman adalah akademisi, sementara ketiadaan pengetahuan tertentu, pengalaman dan bakat adalah awam dan akumulasi dari pendidikan, bakat, serta pengalaman adalah intelektual, sebab meniscayakan keselarasan antara perkataan dengan tindakan.
Efeknya pada Demokrasi
Amerika Serikat, sebagai negara yang fokus dan menunjung tinggi kebebasan individu, berujung pangkal pada perlawanan terhadap setiap otoritas yang ada, tanpa kecuali, termasuk otoritas intelektual.
Selain itu, hal ini juga berdampak pada alam demokrasi, sebab diskursus politik jatuh pada relativitas. Saya sendiri tak bisa membayangkan jika diskursus politik menjadi demikian, tak ada tolok ukur objektif; semua subjektif atau dengan bahasa lain menimal berdasar pada suka dan tidak suka.
Indonesia, Amerika Serikat, dan seluruh negara yang berbentuk republik dan menerapkan demokrasi sebagai metode berpolitiknya sangatlah membutuhkan pakar untuk menunjukkan jalan terang sebelum kebijakan diputuskan oleh pemerintahan, terlebih pemerintahan yang terpilih dari hasil kebohongan dan hasil money politic.
Demokrasi menuntut setiap anggota masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya disetiap momentum politik, tapi kira-kira apa hasilnya kalau masyarakat dicekoki ujaran kebencian? Hoaks?
Terlebih saat pengambilan keputusan dan kebijakan, negara sebagai organisasi besar, betapa pun demokratisnya, tidak membuat kebijakan dan keputusan dengan mengumpulkan pendapat semua orang. Oleh karena itulah, dalam alam demokrasi, penting kiranya pakar bertanggung jawab untuk mendidik awam dan mengarahkan pemerintahan, sementara awam bertanggung jawab untuk tetap terus belajar.
Peran timbal balik itu, dalam alam demokrasi terlebih kini, kita telah memasuki era informasi dan tekhnologi mesti gencar untuk dilakukan. Sebab, pakar di sisi pemerintahan tak dapat mengendalikan pemimpin untuk konsisten melaksanakan hasil kajian akademisnya. Selain itu, bisa jadi pemimpin tak melaksanakan sepenuhnya hasil kajian akademis tersebut.
Hal itu, jika terjadi, perubahan yang hendak ditujuh sulit tercapai atau bahkan tak dapat dicapai sama sekali. Parahnya jika setiap kebijakan di buat untuk kepentingan sekelompok elite saja, pada titik itu, masyarakat yang senantiasa belajar akan sampai pada kesadaran bahwa contol sosial terhadap pemerintah menjadi alternatif ketika saran pakar terhadap kebijakan tidak mewujud.
Seperti kata Rasulullah SAW; jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.
Penulis : Hairil Amri
Editor : Faruq Muharram